Bercerita tentang kesederhanaan hidup

Jumat, 18 September 2015

Kereta Dakwah

23.10 Posted by hamzah ramadhan No comments
Hari ini sudah memasuki bulan Dzulhijjah. Sudah memasuki tanggal 5 rupanya. Teringat bagaimana doa seorang nabi Ibrahim as yang begitu terkenal merupakan cikal bakal diutusnya Nabi Muhammad saw. Doa tersebut berbunyi seperti ini
“Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. Al-Baqarah [2]: 127 – 129.

Doa nabi Ibrahim begitu menggetarkan jiwa bagi orang-orang yang mengerti. Doa itu adalah bentuk kepasrahan dirinya kepada Allah SWT agar setelah beliau wafat, proses dakwah untuk menyerukan keagungan Allah di muka bumi tak berhenti dan akan terus diwariskan oleh manusia yang hidup sepeninggal beliau.

Kepedulian nabi Ibrahim terhadap dakwah tampaknya mampu diambil dan diterjemahkan dengan baik oleh nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW mampu menyebarluaskan ajaran tauhid ke seluruh pelosok jazirah Arab. Melahirkan sahabat-sahabat pewaris risalah yang berperan sebagai dai untuk memastikan bahwa ajaran Islam akan terus menyebar ke seluruh  pelosok dunia hingga hari akhir nanti.

Apa yang menyebabkan dakwah kepada Allah ini tetap memiliki energi yang seolah tak pernah habis? Adalah janji Allah yang menyebutkan bahwasanya “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Imran : 110)

Seperti itulah energi yang Allah janjikan kepada para pengemban risalah dakwah yang bersedia menyediakan waktu, tenaga, pikirannya. Dalam kelelahan menuntut ilmu, dalam kelelahan mencari nafkah, mereka selalu menyediakan waktunya untuk dakwah. Mereka menyadari kapasitasnya sebagai umat terbaik. Maka kewajiban mereka adalah memastikan bahwa ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi tetap terjaga keasliannya sesuai dengan petunjuk Ilahi sampai hari akhir.

Hanya sedikit orang yang mau menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk sekedar memikirkan soal dakwah ini. Apalah arti dakwah bagi mereka. Toh kalau sholat mereka benar, puasa rajin, sedekah banyak, kemudian zakat rutin, apalagi sudah haji, bagi mereka itu lebih dari sekedar cukup untuk modal mereka masuk ke dalam Jannah yang kita semua impikan.

Hanya sekedar mengingatkan. Bahwa dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
“Suatu masa turun perintah Allah kepada malaikat untuk menumpahkan adzab pada suatu negeri. Malaikat itu melapor dan Allah Maha Tahu tentang hal yang dilaporkannya : “Ya Rabb, di sana ada seorang sholeh”. Justru jawaban Allah begitu mengejutkan “Justru mulailah timpakan adzab kepadanya”. Apa pasal? “Karena wajahnya sama sekali tak pernah memerah karena Aku”. Ia tak punya ghirah (kecemburuan dan ketersinggungan) bila kehormatan Allah dilanggar. Ia tenang ketika umatnya dibantai. Ia baru tersinggung bila pribadinya diusik! Salah satu aliran sekuler modern adalah mereka mencetak generasi Muslim yang tak tersinggung bila Islam, Alqur’an dan Rasul diejek. “Demi Toleransi” kata mereka. Seperti itulah yang terjadi apabila orang muslim melupakan hakikat dakwah dalam hidupnya. Bukan jannah yang didapat, malah adzab Allah swt diturunkan terlebih dahulu kepada mereka yang apatis terhadap dakwah ini.

Sepertinya pembukaan tersebut sudah cukup mengawali sedikit ungkapan isi hati pada malam hari ini. Aku bukan orang baik. Bukan pula orang sholeh. Aku hanya beruntung diberikan oleh Allah kedua orang tua yang mengerti dan paham bagaimana proses dakwah itu berjalan. Sejak kecil aku selalu menyaksikan waktu mereka habis di luar rumah demi memenuhi kewajiban dakwah ini. Pada awalnya aku jengkel juga. Kenapa aku tidak seperti anak-anak lain yang bisa menghabiskan waktu setiap saat bersama keluarga. Bukan di jam sisa. Tapi lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai sedikit mengerti apa saja aktivitas yang dikerjakan orang tuaku di luar sana. Hingga timbul sebuah keinginan untuk menjadi seperti mereka ketika dewasa kelak.

Allah menjagaku untuk menemui masa kedewasaan dengan begitu baik. Semua jalan cerita dibentuk sedemikian rupa agar terkesan berliku dan tidak membosankan untuk aku lalui. Allah pasti masih ingat keinginan yang pernah terbesit dalam hatiku untuk meneruskan perjuangan orang tuaku di jalan dakwah ini. Maka dari itu dijaganya aku dengan baik, dikuatkannya jiwaku dengan berbagai cobaan, dicerdaskannya aku dengan berbagai masalah yang datang terus menerus dalam kehidupanku.

Jangankan terlibat dalam dakwah, aku malah hampir terperosok jatuh dalam lembah dan melihat kereta dakwah itu berjalan meninggalkanku di belakang. Tapi Allah Maha Baik. Dia kuatkan kakiku untuk mengejar ketinggalan ini. Dia berikan begitu banyak sahabat yang tak pernah ragu membantuku mengejar kereta itu tanpa pernah sedikit pun menyalahkanku akibat kelalaian yang menyebabkan aku terjerembab dan tertinggal kereta dakwah tersebut.

Aku baru bisa menaiki kereta ini setelah berulang kali terjatuh dalam melakukan upaya pengejaran. Perjuangan untuk naik kereta ini di tengah kondisi kereta yang sedang berjalan memang cukup menyulitkan. Tapi mengingat kelalaianku terjerembab saat kereta ini melaju kencang menjadi motivasi tambahan bagiku. Aku belum layak dianggap sebagai penumpang atau bagian penting dari kereta dakwah ini. Peranku tak ada arti sama sekali. Aku juga hanya berani menumpang di luar kereta. Debu yang melekat di badan tak memungkinkan aku untuk masuk dan bergabung duduk bersama  para orang-orang terpilih untuk berbincang soal tujuan di mana gerbong ini akan berhenti. Cukuplah aku menyaksikan mereka di balik kaca yang berdebu pula. Mereka masih mengizinkan aku menaiki kereta ini pun aku sudah sangat berterimakasih.

Semoga hujan akan segera turun untuk membersihkan debu yang melekat di tubuhku agar aku bisa bergabung bersama mereka di dalam gerbong indah bernama tarbiyah.


Palembang, 5 Dzulhijah 1436 H

0 komentar: