Bangunan itu berdiri kokoh di tengah kota. Cukup tua usianya, tapi karena dirawat dengan baik, jadilah ia masih gagah berdiri di antara monumen dan masjid raya kebanggaan rakyatnya. Warna cat oranye menjadikannya pusat perhatian dari setiap orang yang datang atau sekedar melewatinya. Entah dari mana awal mula warna itu menjadi ciri khas perusahaan yang menggunakan burung merpati dan bola dunia sebagai simbolnya.
Orang-orang hilir mudik sibuk
dengan aktivitas dan kesibukannya masing-masing. Hari ini Senin. Setelah menghabiskan
masa libur di akhir pekan, mereka pun kembali mencari penghidupan yang layak
untuk mereka jadikan tolak ukur kebahagiaan dan kesenangan yang akan mereka
lewati di akhir pekan selanjutnya. Begitulah kehidupan. Alurnya berputar terus
menerus sampai salah satu dari mereka merasakan kelelahan. Apakah jasad dulu yang
mengalami kelelahan hingga akhirnya terhentilah sudah semua kesenangan berganti
dengan ruangan sempit beraroma analgesik. Atau pikiran yang merasakan kelelahan
hingga akhirnya merasa tertekan karena hidup tidak berjalan sesuai harapan.
Aku jadi salah satu orang yang
ikut andil dalam kesibukan di hari ini. Tidak biasanya aku keluar rumah sepagi
ini. Bertahan menempuh kemacetan bersama melewati jembatan Ampera. Kalau bukan
karena malu, lebih baik aku melanjutkan mimpiku yang belum selesai di tempat
tidur. Asap yang mengganggu di pagi ini juga menjadi salah satu penyebab aku
malas keluar untuk sekedar menyelesaikan ‘kewajiban’ sebagai seorang
pengangguran.
Aku memang pengangguran. Tapi bukan
berarti aku tidak punya kerjaan. Kerjaanku banyak. Amanahku menumpuk. Aku aktif
di kegiatan sosial dan amal yang dibentuk oleh komunitas apapun. Pernah aku
ditawari untuk ikut bergabung bersama lembaga profesional yang memang terjun
untuk melayani dan mengelola infak, zakat, dan wakaf. Tapi aku tolak secara
halus, aku belum sesholeh itu. Lagi pula ada alasan lainnya adalah karena aku
ingin sekali kerja kantoran. Pakai setelan rapi, kemeja tangan panjang,
berdasi. Bahkan kalau perlu kerjaanku cukuplah tanda tangan di balik meja, atau
sekedar mengetik laporan di komputer canggih. Mimpiku tinggi, namun untuk
membuktikannya aku masih saja suka berdiam diri menunggu panggilan kerja dari
perusahaan-perusahaan yang aku kirimkan harapan lewat berkas biodata diri dan
riwayat pendidikan.
Pagi ini macet panjang sekali,
aku harus menghabiskan waktu sejam perjalanan dari rumah menuju tempat ‘peraduan
nasibku’. Padahal biasanya aku hanya butuh 15 menit untuk sampai ke sana. Aku terkena
efek domino di hari senin. Padahal aku tidak sedang dikejar absensi atau deadline. Mamaku saja yang sejak tadi pagi mengingatkan agar
aku mengirimkan berkas harapan itu pagi ini. Supaya nanti siang bisa
menemaninya belanja di pasar.
Setelah satu jam membaur bersama
hiruk-pikuk kendaraan para karyawan yang mengejar absensi di awal pagi,
akhirnya aku sampai juga ke gedung oranye di sebelah monumen perjuangan rakyat
kota ini. Suasana di area gedung itu sudah ramai. Penjual asongan sudah
menempati posisinya masing-masing. Mereka menjual rokok, minuman, permen, prangko,
amplop dan yang lainnya selama masih bisa dijual dengan harga murah. Mini Market
di sebelah gedung itu juga sudah buka. Mini Market yang makin menjamur di kota
ini menggerus kehidupan para pedagang asongan yang makin hari makin sempit
wilayah usahanya karena ancaman pemerintah kota melalui pamong praja.
Tukang parkir sudah terlihat mulai
mengatur tata letak motor supaya bisa memuat lebih banyak motor lagi. Beberapa
orang juga terlihat mulai antre di ATM. Ada yang sedang melihat-lihat pengumuman
di papan pengumuman mengenai lowongan pekerjaan. Sebagian orang lagi sedang
menunggu dibukanya kantor tersebut. Aku jongkok dekat salah satu pedagang asongan.
Membeli rokok untuk mengusir kebosanan. Bertanya satu dua hal kepada bapak
pedagang asongan tadi, lalu aku asyik sendiri dalam kepulan asap rokok
bercampur dengan asap di udara yang sudah 3 bulan menyelimuti kota kami.
Tak berapa lama kemudian aku
melihat ada motor bebek pabrikan Jepang yang sudah dimodifikasi dengan sebuah box
di belakang. Berwarna oranye. Masuk dengan pengendaranya yang juga menggunakan
seragam berwarna oranye. Dia terlihat masih muda. Mungkin sekitar 30 tahun
usianya. Setelah melepas helm, dia menuju ke arahku. Rupanya dia mau membeli
minum di pedagang asongan di sebelah. Mereka mengobrol akrab. Bapak pedagang
asongan itu ditepuk-tepuk punggungnya sambil ia membayar dengan uang bergambar I Gusti Ngurah Rai dan menolak untuk diberikan kembaliannya. Pedagang asongan itu
terharu, menyalami petugas dengan seragam oranye tadi sambil mengucapkan terima
kasih berkali-kali. Masih ada rupanya orang baik di dunia ini.
Aku menghampiri pedagang asongan
yang baru saja mendapatkan rezeki nomplok tadi. Berniat membeli sebatang rokok
lagi sebelum kantor yang akan mengantarkan berkas harapanku buka. Aku juga
penasaran dengan petugas yang berseragam oranye tadi. Maka aku beranikan
bertanya pada bapak pedagang asongan itu sambil menunggu dia mengambil rokok
pesananku.
“Pak, yang tadi itu siapa? Kok baik banget sama Bapak kasih uang sebanyak itu?”
“Oh dia itu petugas antar surat Dek, namanya Ismail. Orang sini suka memanggilnya Mail, karena katanya sih bahasa inggrisnya surat itu mail. Dia memang orang baik Dek. Dia itu gak pernah mau nerima kembalian kalau uangnya lebih. Selalu dikasihnya uang kembalian itu kepada saya. Bukan hanya saya sih, dengan pedagang asongan lain juga suka seperti itu.”
“Wah hebat juga dia ya. Gede kali gajinya ya, makanya bisa gitu?
“Ah setahu saya sama saja Dek. Gaji untuk pengantar surat itu standar lah. Paling sekitar 2 juta an. Oh iya dia itu sarjana. Sarjana ekonomi kalau tidak salah.”
Aku mengernyitkan dahi. Heran. Kok
masih ada sarjana seperti dia. Kenapa juga dia mau kerja jadi pengantar surat
yang kerjaannya tidak memerlukan ijazah sarjana. Apa karena dia tidak mampu tes
di perusahaan-perusahaan besar ya. Dalam keheranan itu, aku kembali
menghidupkan rokok yang baru saja aku beli.
Pintu kantor yang terbuat dari
kaca bening itu sudah berganti label gantungan dengan tuliskan BUKA. Aku bergegas
masuk untuk mengambil nomor antre supaya mendapat giliran awal. Bosan aku
menunggu di sini. Lebih baik aku di rumah menghabiskan koleksi film yang sudah
aku download tiap malam, atau
meneruskan mimpi-mimpi kesuksesanku saat tidur.
Aku mendapatkan nomor 4. Ternyata
bukan hanya aku saja yang menunggu kantor ini buka. Cukup banyak juga orang
yang ingin mengirimkan barangnya di pagi Senin
ini. Aku beruntung mendapatkan nomor 4. Tidak harus menunggu lama. Aku pun
mencari tempat duduk yang strategis untuk menunggu panggilan. Aku palingkan
wajahku ke kiri, aku mendapati sosok Pak Ismail dengan seragam oranye di sana. Sedang
membaca buku. Di sebelahnya kursi kosong. Pas sekali. Aku ingin menuntaskan
rasa penasaranku tentang sarjana ekonomi yang ditakdirkan jadi kurir surat ini.
“Permisi Pak, boleh saya duduk di sini?” aku menyapa bapak berseragam oranye itu sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.
“Oh silakan dek.” Dia menghentikan aktivitas membacanya untuk menjawab sapaanku. Kemudian bertanya kembali
“Mau mengirimkan berkas lamaran kerja dek?”
“Iya pak. Ini surat lamaran entah yang ke berapa yang saya kirim. Sudah beberapa perusahaan saya kirimkan lamaran, tapi masih belum ada panggilan Pak. Oh iya, bapak pengantar surat di sini ya?”
“Iya betul, sudah 3 tahun saya kerja di sini. Alhamdulillah Allah masih mengizinkan saya mendapatkan pekerjaan yang halal dan mudah”
“Maksud bapak halal dan mudah?”
“Iya sekarang ini susah mencari pekerjaan yang halal dan mudah. Kalaupun ada yang mudah, tapi hukumnya meragukan apakah halal atau tidak, tapi kalau itu halal, pekerjaannya juga susahnya minta ampun. Jadi ya saya bersyukur sekali ketika Allah memberikan saya pekerjaan yang halal dan mudah.”
“Lah sekarang bukannya makin banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan, halal juga mudah juga. Benar kan pak? Saya dengar bapak juga lulusan sarjana. Masa karier bapak terhenti hanya sebagai kurir surat saja.”
“Anda tahu dari mana saya seorang sarjana? Pasti dari pedagang asongan di depan tadi ya?”
“Iya Pak”, aku mengangguk memperjelas.
“Iya saya memang seorang sarjana. Tapi tidak secerdas sarjana lain. IPK saya tidak sampai 3. Saya terlalu banyak bermain-main saat kuliah. Akibatnya saya selalu gagal mencari perusahaan yang mau menerima saya untuk bekerja di sana. Tapi ternyata Allah punya maksud lain dengan memberikan saya nilai terbatas seperti itu. Di saat perusahaan lain tidak mau mempekerjakan saya sebagai karyawannya, saya justru mendapatkan kerja di sini. Di sini saya bisa melatih sikap jujur, disiplin, tanggung jawab dan banyak hal lain. Belum lagi dengan menjadi seorang kurir, saya tidak terlalu banyak berpikir yang berat-berat. Saya juga bebas mau sholat di masjid manapun. Jadi sambil mengantar surat, saya biasa mengatur waktunya supaya ketika waktu sholat tiba, saya sudah berada di masjid. Bagi saya, kerja itu adalah selingan sambil menunggu waktu sholat.”
“Masya Allah luar biasa sekali, maaf Pak, nomor antrean saya dipanggil, saya ke loket dulu. Terima kasih atas penjelasan Bapak”
“Oh iya mari. Semoga sukses ya dek.”
Kami bersalaman mengakhiri
pembicaraan penuh inspirasi tadi. Dia tersenyum kepadaku. Aku tertunduk malu
meninggalkan bapak pengantar surat tadi. Prinsip hidupnya sederhana namun
begitu luar biasa. Aku saja sholat masih bolong-bolong. Belum sempurna lima
waktu ku kerjakan. Padahal aku masih pengangguran. Sok aktif dalam kegiatan
amal dan sosial tapi giliran panggilan sholat malasnya kelewatan. Wajar amplop cokelat
yang kukirimkan di beberapa perusahaan tak juga mendapatkan panggilan.
Panggilan dari Allah saja beberapa kali aku abaikan.
Aku mengusap muka yang tidak
basah. Mataku yang terpejam sejenak dikejutkan dengan pertanyaan Customer Service mengenai biaya pengiriman.
Amplop cokelat sudah berpindah tangan. Berkas harapan itu siap dikirim ke
perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Kali ini aku bertekad
mengimbanginya dengan doa. Karena panggilan kerja tidak lebih utama
dibandingkan dengan panggilan azan yang ku dengar setiap hari.
0 komentar:
Posting Komentar