Bercerita tentang kesederhanaan hidup

Selasa, 03 November 2015

Kerja Itu Selingan Menunggu Waktu Sholat

13.22 Posted by hamzah ramadhan , No comments

Bangunan itu berdiri kokoh di tengah kota. Cukup tua usianya, tapi karena dirawat dengan baik, jadilah ia masih gagah berdiri di antara monumen dan masjid raya kebanggaan rakyatnya. Warna cat oranye menjadikannya pusat perhatian dari setiap orang yang datang atau sekedar melewatinya. Entah dari mana awal mula warna itu menjadi ciri khas perusahaan yang menggunakan burung merpati dan bola dunia sebagai simbolnya.

Orang-orang hilir mudik sibuk dengan aktivitas dan kesibukannya masing-masing. Hari ini Senin. Setelah menghabiskan masa libur di akhir pekan, mereka pun kembali mencari penghidupan yang layak untuk mereka jadikan tolak ukur kebahagiaan dan kesenangan yang akan mereka lewati di akhir pekan selanjutnya. Begitulah kehidupan. Alurnya berputar terus menerus sampai salah satu dari mereka merasakan kelelahan. Apakah jasad dulu yang mengalami kelelahan hingga akhirnya terhentilah sudah semua kesenangan berganti dengan ruangan sempit beraroma analgesik. Atau pikiran yang merasakan kelelahan hingga akhirnya merasa tertekan karena hidup tidak berjalan sesuai harapan.

Aku jadi salah satu orang yang ikut andil dalam kesibukan di hari ini. Tidak biasanya aku keluar rumah sepagi ini. Bertahan menempuh kemacetan bersama melewati jembatan Ampera. Kalau bukan karena malu, lebih baik aku melanjutkan mimpiku yang belum selesai di tempat tidur. Asap yang mengganggu di pagi ini juga menjadi salah satu penyebab aku malas keluar untuk sekedar menyelesaikan ‘kewajiban’ sebagai seorang pengangguran.

Aku memang pengangguran. Tapi bukan berarti aku tidak punya kerjaan. Kerjaanku banyak. Amanahku menumpuk. Aku aktif di kegiatan sosial dan amal yang dibentuk oleh komunitas apapun. Pernah aku ditawari untuk ikut bergabung bersama lembaga profesional yang memang terjun untuk melayani dan mengelola infak, zakat, dan wakaf. Tapi aku tolak secara halus, aku belum sesholeh itu. Lagi pula ada alasan lainnya adalah karena aku ingin sekali kerja kantoran. Pakai setelan rapi, kemeja tangan panjang, berdasi. Bahkan kalau perlu kerjaanku cukuplah tanda tangan di balik meja, atau sekedar mengetik laporan di komputer canggih. Mimpiku tinggi, namun untuk membuktikannya aku masih saja suka berdiam diri menunggu panggilan kerja dari perusahaan-perusahaan yang aku kirimkan harapan lewat berkas biodata diri dan riwayat pendidikan.

Pagi ini macet panjang sekali, aku harus menghabiskan waktu sejam perjalanan dari rumah menuju tempat ‘peraduan nasibku’. Padahal biasanya aku hanya butuh 15 menit untuk sampai ke sana. Aku terkena efek domino di hari senin. Padahal aku tidak sedang dikejar absensi atau deadline. Mamaku  saja yang sejak tadi pagi mengingatkan agar aku mengirimkan berkas harapan itu pagi ini. Supaya nanti siang bisa menemaninya belanja di pasar.

Setelah satu jam membaur bersama hiruk-pikuk kendaraan para karyawan yang mengejar absensi di awal pagi, akhirnya aku sampai juga ke gedung oranye di sebelah monumen perjuangan rakyat kota ini. Suasana di area gedung itu sudah ramai. Penjual asongan sudah menempati posisinya masing-masing. Mereka menjual rokok, minuman, permen, prangko, amplop dan yang lainnya selama masih bisa dijual dengan harga murah. Mini Market di sebelah gedung itu juga sudah buka. Mini Market yang makin menjamur di kota ini menggerus kehidupan para pedagang asongan yang makin hari makin sempit wilayah usahanya karena ancaman pemerintah kota melalui pamong praja.
Tukang parkir sudah terlihat mulai mengatur tata letak motor supaya bisa memuat lebih banyak motor lagi. Beberapa orang juga terlihat mulai antre di ATM. Ada yang sedang melihat-lihat pengumuman di papan pengumuman mengenai lowongan pekerjaan. Sebagian orang lagi sedang menunggu dibukanya kantor tersebut. Aku jongkok dekat salah satu pedagang asongan. Membeli rokok untuk mengusir kebosanan. Bertanya satu dua hal kepada bapak pedagang asongan tadi, lalu aku asyik sendiri dalam kepulan asap rokok bercampur dengan asap di udara yang sudah 3 bulan menyelimuti kota kami.

Tak berapa lama kemudian aku melihat ada motor bebek pabrikan Jepang yang sudah dimodifikasi dengan sebuah box di belakang. Berwarna oranye. Masuk dengan pengendaranya yang juga menggunakan seragam berwarna oranye. Dia terlihat masih muda. Mungkin sekitar 30 tahun usianya. Setelah melepas helm, dia menuju ke arahku. Rupanya dia mau membeli minum di pedagang asongan di sebelah. Mereka mengobrol akrab. Bapak pedagang asongan itu ditepuk-tepuk punggungnya sambil ia membayar dengan uang bergambar I Gusti Ngurah Rai dan menolak untuk diberikan kembaliannya. Pedagang asongan itu terharu, menyalami petugas dengan seragam oranye tadi sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali. Masih ada rupanya orang baik di dunia ini.

Aku menghampiri pedagang asongan yang baru saja mendapatkan rezeki nomplok tadi. Berniat membeli sebatang rokok lagi sebelum kantor yang akan mengantarkan berkas harapanku buka. Aku juga penasaran dengan petugas yang berseragam oranye tadi. Maka aku beranikan bertanya pada bapak pedagang asongan itu sambil menunggu dia mengambil rokok pesananku.
“Pak, yang tadi itu siapa? Kok baik banget sama Bapak kasih uang sebanyak itu?”
“Oh dia itu petugas antar surat Dek, namanya Ismail. Orang sini suka memanggilnya Mail, karena katanya sih bahasa inggrisnya surat itu mail. Dia memang orang baik Dek. Dia itu gak pernah mau nerima kembalian kalau uangnya lebih. Selalu dikasihnya uang kembalian itu kepada saya. Bukan hanya saya sih, dengan pedagang asongan lain juga suka seperti itu.”
“Wah hebat juga dia ya. Gede kali gajinya ya, makanya bisa gitu?
“Ah setahu saya sama saja Dek. Gaji untuk pengantar surat itu standar lah. Paling sekitar 2 juta an. Oh iya dia itu sarjana. Sarjana ekonomi kalau tidak salah.”
Aku mengernyitkan dahi. Heran. Kok masih ada sarjana seperti dia. Kenapa juga dia mau kerja jadi pengantar surat yang kerjaannya tidak memerlukan ijazah sarjana. Apa karena dia tidak mampu tes di perusahaan-perusahaan besar ya. Dalam keheranan itu, aku kembali menghidupkan rokok yang baru saja aku beli.

Pintu kantor yang terbuat dari kaca bening itu sudah berganti label gantungan dengan tuliskan BUKA. Aku bergegas masuk untuk mengambil nomor antre supaya mendapat giliran awal. Bosan aku menunggu di sini. Lebih baik aku di rumah menghabiskan koleksi film yang sudah aku download tiap malam, atau meneruskan mimpi-mimpi kesuksesanku saat tidur.

Aku mendapatkan nomor 4. Ternyata bukan hanya aku saja yang menunggu kantor ini buka. Cukup banyak juga orang yang ingin mengirimkan barangnya di pagi Senin  ini. Aku beruntung mendapatkan nomor 4. Tidak harus menunggu lama. Aku pun mencari tempat duduk yang strategis untuk menunggu panggilan. Aku palingkan wajahku ke kiri, aku mendapati sosok Pak Ismail dengan seragam oranye di sana. Sedang membaca buku. Di sebelahnya kursi kosong. Pas sekali. Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang sarjana ekonomi yang ditakdirkan jadi kurir surat ini.
“Permisi Pak, boleh saya duduk di sini?” aku menyapa bapak berseragam oranye itu sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.
“Oh silakan dek.” Dia menghentikan aktivitas membacanya untuk menjawab sapaanku. Kemudian bertanya kembali
“Mau mengirimkan berkas lamaran kerja dek?”
“Iya pak. Ini surat lamaran entah yang ke berapa yang saya kirim. Sudah beberapa perusahaan saya kirimkan lamaran, tapi masih belum ada panggilan Pak. Oh iya, bapak pengantar surat di sini ya?”
“Iya betul, sudah 3 tahun saya kerja di sini. Alhamdulillah Allah masih mengizinkan saya mendapatkan pekerjaan yang halal dan mudah”
“Maksud bapak halal dan mudah?”
“Iya sekarang ini susah mencari pekerjaan yang halal dan mudah. Kalaupun ada yang mudah, tapi hukumnya meragukan apakah halal atau tidak, tapi kalau itu halal, pekerjaannya juga susahnya minta ampun. Jadi ya saya bersyukur sekali ketika Allah memberikan saya pekerjaan yang halal dan mudah.”
“Lah sekarang bukannya makin banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan, halal juga mudah juga. Benar kan pak? Saya dengar bapak juga lulusan sarjana. Masa karier bapak terhenti hanya sebagai kurir surat saja.”
“Anda tahu dari mana saya seorang sarjana? Pasti dari pedagang asongan di depan tadi ya?”
“Iya Pak”, aku mengangguk memperjelas.
“Iya saya memang seorang sarjana. Tapi tidak secerdas sarjana lain. IPK saya tidak sampai 3. Saya terlalu banyak bermain-main saat kuliah. Akibatnya saya selalu gagal mencari perusahaan yang mau menerima saya untuk bekerja di sana. Tapi ternyata Allah punya maksud lain dengan memberikan saya nilai terbatas seperti itu. Di saat perusahaan lain tidak mau mempekerjakan saya sebagai karyawannya, saya justru mendapatkan kerja di sini. Di sini saya bisa melatih sikap jujur, disiplin, tanggung jawab dan banyak hal lain. Belum lagi dengan menjadi seorang kurir, saya tidak terlalu banyak berpikir yang berat-berat. Saya juga bebas mau sholat di masjid manapun. Jadi sambil mengantar surat, saya biasa mengatur waktunya supaya ketika waktu sholat tiba, saya sudah berada di masjid. Bagi saya, kerja itu adalah selingan sambil menunggu waktu sholat.”
“Masya Allah luar biasa sekali, maaf Pak, nomor antrean saya dipanggil, saya ke loket dulu. Terima kasih atas penjelasan Bapak”
“Oh iya mari. Semoga sukses ya dek.”
Kami bersalaman mengakhiri pembicaraan penuh inspirasi tadi. Dia tersenyum kepadaku. Aku tertunduk malu meninggalkan bapak pengantar surat tadi. Prinsip hidupnya sederhana namun begitu luar biasa. Aku saja sholat masih bolong-bolong. Belum sempurna lima waktu ku kerjakan. Padahal aku masih pengangguran. Sok aktif dalam kegiatan amal dan sosial tapi giliran panggilan sholat malasnya kelewatan. Wajar amplop cokelat yang kukirimkan di beberapa perusahaan tak juga mendapatkan panggilan. Panggilan dari Allah saja beberapa kali aku abaikan.


Aku mengusap muka yang tidak basah. Mataku yang terpejam sejenak dikejutkan dengan pertanyaan Customer Service mengenai biaya pengiriman. Amplop cokelat sudah berpindah tangan. Berkas harapan itu siap dikirim ke perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Kali ini aku bertekad mengimbanginya dengan doa. Karena panggilan kerja tidak lebih utama dibandingkan dengan panggilan azan yang ku dengar setiap hari.

0 komentar: