Malam ini sudah cukup larut untuk
sekedar melakukan aktivitas rutin bagi kebanyakan manusia normal. Suasananya
cukup nyaman untuk bermesraan dengan bantal dan guling kesayangan. Maklum namanya
juga jomblo, jadi gak usah dulu ngomongin tidur dengan pasangan. Kebanyakan
mengkhayal gak baik untuk kesehatan. Malam ini sudah masuk hari Kamis, tanggal
28 Safar 1437 Hijriyah bertepatan dengan 10 Desember 2015.
Tanggal 9 Desember baru saja
berlalu. Di beberapa daerah baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi. Tahun ini
merupakan tahun perdana diberlakukannya pilkada (pemilihan kepala daerah)
serentak. Memang tidak semua kota dan provinsi menyelenggarakan pesta demokrasi
tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang tidak melakukan pemilihan kepala
daerahnya. Gaungnya terasa ke seluruh penjuru daerah. Karena presiden langsung
menginstruksikan hari itu menjadi hari libur nasional. Anak sekolah gembira,
euforia pilkada terasa membahagiakan bagi mereka yang akhirnya mendapat jatah
waktu istirahat di rumah di kala sedang bertarung dengan soal-soal ujian
semesteran.
Boleh saja kalau kamu ingin
menutup tulisan yang membosankan ini. Karena baru di awal aku sudah berbicara
soal pilkada. Soal politik beserta segala atributnya memang saat ini menjadi
momok yang begitu menjijikan untuk kita saksikan di layar kaca. Hanya karena
beberapa oknum politisi yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas
kepentingan rakyat, kita langsung menghakimi bahwa semua politisi tak ada yang
etis. Pada akhirnya sikap apatis pun bermunculan pada setiap pesta demokrasi. Pilkada
sepi, pemilih hanya datang kurang dari separuh warga yang ada. Mimpi perubahan
pun hanya tinggal cita-cita yang disuarakan ketika pemimpin yang terpilih bukan
karena pilihan mereka melakukan tindakan korupsi.
Seperti itulah kondisi negara
kita setiap tahun. Sikap apatis makin menjadi-jadi. Toh setiap janji para
pemimpin sama semua. Manis di bibir, memutar kata, malah kau tuduh akulah
segala penyebabnya. Mungkin Exist menciptakan lirik lagu tersebut berdasarkan pengalamannya
saat kecewa kepada calon pemimpin piihannya. Ah semua sama saja, begitu ungkap
beberapa orang yang memutuskan untuk tidak memamakai hak pilihnya. Bahkan sampai
ada yang ekstrim membuat sebuah meme dengan isi tulisan “Pilkada kalau jadi pasti lupa, Pilkabe kalau lupa pasti jadi”. Aku
juga bingung maksudnya apa. Kok perbandingan pilkada disetarakan dengan
pilkabe. Apakah serendah itu kualitas pesta demokrasi yang menghabiskan uang
rakyat hingga bermilyar-milyar jumlahnya itu.
Haruskah kita sebut negara kita sebagai negara semi apatis? Bisanya protes tapi tak mau ikut proses. Maunya jadi negara maju, tapi semua serba tidak tahu. Mau terkenal tapi tidak punya karya yang menjual. Mau jadi yang terdepan tapi cuma bisa lempar kritikan. Termasuk aku sendiri. Bisanya hanya mengkritik, tanpa solusi. Kebanyakan nonton Indonesia Lawak Klub. Bisanya bikin rumit lalu menghilang di saat sulit.
Di tengah kesibukan orang yang saling bersaing
dalam pilkada, aku sebagai rakyat yang sedang berusaha patuh terhadap peraturan
dan undang-undang hanya bisa berdoa semoga pilkada yang telah berlalu ini bisa
menghasilkan generasi pemimpin baru yang lebih peduli terhadap rakyatnya, lebih
peduli terhadap tata kelola daerahnya. Karena perubahan menuju kebaikan itu
bisa cepat dilaksanakan apabila pemimpinnya mendukung perubahan tersebut. Suara
pemimpin akan didengar rakyatnya dibandingkan dengan suara rakyat biasa kepada
rakyat lainnya.
Pada akhirnya semoga Indonesia
masih memiliki kualitas pemimpin yang bisa diandalkan di hadapan dunia. Bisa pidato
di hadapan para pejabat negara lain dengan berwibawa, bisa ngobrol bersama
mereka dengan lancar tanpa perantara, dan mampu menaikkan harga diri bangsa
dengan kemajuan pembangunan di segala aspek tanpa menambah utang negara dengan
menggadaikan beberapa perusahaan negara segala aset di dalamnya.
0 komentar:
Posting Komentar