Bercerita tentang kesederhanaan hidup

Senin, 15 Juni 2015

Ngobrol Soal Cinta

02.02 Posted by hamzah ramadhan , No comments
Laki-laki berusia sepuh itu sedang makan saat aku beserta teman-teman bercengkrama ditemani sepiring mie tek-tek di meja kecil, tempat duduk kecil, dibawah kemilau lampu jalan dan hiasan yang tergantung di pepohonan yang menambah semarak malam itu. Malam itu di depan sebuah benteng yang menjadi saksi bisu sejarah kemerdekaan Indonesia, aku melihat penggalan ekspresi cinta yang tak lebih romantis dari sekedar alur romantika drama layar kaca. Tempat yang aku gambarkan tadi jauh dari kata romantis. Terlalu banyak manusia lalu lalang. Melintas tak jelas mencari hiburan atau sekedar luapan kebosanan dan rasa suntuk di rumah atas rutinitas harian.

Aku bersama ketiga temanku masih larut dalam obrolan seputar kuliah, ujian, dan semua aktivitas rutin yang kami kerjakan dalam hari itu. Kami sibuk bergantian menceritakan semua isi kepala sembari melahap suapan demi suapan mie yang mungkin bisa mengganjal sedikit kondisi perut yang lapar pasca ujian semesteran. Mataku tak bisa lepas dari sosok lelaki tua yang sedang makan pula. Hanya saja ia berada di tempat yang berbeda dari kami berempat. Ia makan nasi goreng, dengan lauk telur rebus, ditambah beberapa irisan daging ayam dan bawang goreng di atasnya.

Aku belum menceritakan sampai kepada bagian yang romantis, jadi harap bersabar. Obrolan kami berempat masih berlanjut, mie yang ada di piringku lenyap tak bersisa. Dari awal aku sibuk menyuap mie karena tak kebagian giliran untuk bercerita. Jadilah mie di piringku menjadi korban mulutku yang sudah tidak sabar ingin bersuara, namun usahanya gagal karena ia harus bekerja sama dengan lidah dan gigi untuk mengunyah mie yang tak pernah berhenti aku suap agar aku tak bersuara saat ketiga temanku bergantian bercerita. Saat itu juga mataku sudah tak fokus menatap mereka satu persatu, hingga aku menemukan penggalan kejadian romantis yang aku ceritakan di awal tadi.

Aku berpisah sejenak untuk membeli minuman untukku dan ketiga teman yang sepertinya mulai melupakan kehadiranku di sana karena asyiknya bercerita. Aku beranjak dari kursi dan mendekat kepada lelaki berusia sepuh yang saat ini sudah selesai makan dengan sisa setengah nasi goreng di piring, telur yang hanya dimakan sedikit, ditambah beberapa irisan daging dan bawang goreng yang belum disentuhnya. Setelah itu, ia memberikan sisa nasi goreng kepada istrinya yang daritadi sibuk melayani pembeli saat lelaki berusia sepuh tadi sedang makan. Mereka adalah pasangan suami-istri penjual minuman berkemasan yang terletak di sebelah penjual mie tek-tek lokasi kami makan.

Aku sedang berada di hadapan mereka kala itu. Berpura-pura memilih air mineral yang ada dalam box pendingin padahal mataku awas memperhatikan kejadian romantis yang membuat hatiku bergetar untuk beberapa saat. Kedua penjual itu berbagi sepiring nasi goreng untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka malam itu. Tanpa ada adegan cium tangan, pipi, jidat, atau anggota tubuh lainnya yang tak lazim untuk dilakukan di depan banyak orang. Tanpa adanya sebuah pelukan mesra dari istri atau suaminya sebagai bentuk rasa terimakasih yang mereka ungkapkan. Hanya sebuah kalimat singkat dan segelas air minum yang disodorkan oleh sang suami kepada istrinya untuk segera menghabiskan sisa nasi goreng di piring. Soal melayani pelanggan, biar lelaki itu yang menangani.

Aku belajar banyak soal cinta dari kedua pasangan penjual minuman di malam itu. Dan mari kita ngobrol sejenak soal cinta itu agar tulisan ini tidak menjadi hambar karena rasa penasaran kalian dengan kondisi mie di piring ketiga temanku tadi. Sederhana, itulah sebuah kata yang bisa aku gambarkan dari sebuah adegan tanpa skenario yang diperlihatkan oleh penjual minuman di malam itu. 

Perhatian yang diberikan oleh kedua pasangan itu adalah bentuk cinta. Saat suami sedang makan, istri cekatan berjaga barang dagangan mereka. Begitupun sebaliknya. Dan segelas air minum dan sisa nasi goreng yang masih utuh di beberapa bagian adalah bentuk cinta yang tak akan bisa kamu temukan dan kamu pelajari di bangku kuliah atau sekolahan. Itu adalah buah didikan alam yang mengajarkan bahwa cinta adalah sebuah bentuk perhatian, kepedulian, rela berkorban, dan banyak hal lain yang aku pun masih belum mengerti benar hakikatnya seperti apa.

Dari kejadian itu aku belajar, tak usahlah sibuk memikirkan orang yang tak pernah memikirkanmu. Waktu yang kita habiskan untuk itu hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan yang tak akan pernah bisa kita kembalikan. Cinta itu sederhana, ketika kamu ada dipikiran orang yang mencintaimu, maka ia akan memberikan segala perhatiannya untuk kebaikanmu. Sudahkah kita belajar tentang besarnya cinta seorang ibu kepada anaknya? Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan cinta yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Jadi sudah kita memutuskan siapa yang layak kita cintai dan kita berikan perhatian?

0 komentar: