Bercerita tentang kesederhanaan hidup

Selasa, 02 Februari 2016

Cerita Ibu di Februari

12.57 Posted by hamzah ramadhan , No comments
Pagi ini matahari masih malu menyapa. Hari kedua di bulan Februari. Sudah satu bulan berlalu sejak tahun ini berganti. Langit masih setia tegak berdiri menyaksikan rangkaian mimpi penduduk bumi di tahun ini. Mereka yang sudah menyiapkan serangkaian resolusi di awal tahun ini ada beberapa yang sudah mulai merampungkan masing-masing resolusinya itu. Awan masih setia hilir mudik di langit. Melindungi beberapa daerah yang perlu untuk diberikan rahmat berupa hujan. Tetesan air yang bermanfaat bagi seluruh makhluk hidup di sekitarnya. Yang bukan hanya membasahi tanah, namun juga membasahi daun, batang, akar pohon yang tak pernah berhenti berzikir dengan caranya masing-masing.

Langit di hari kedua bulan Februari sudah cukup bersahabat. Namun aku masih hanya memperhatikannya dari kaca jendela kamar. Belum tergerak kaki ini untuk keluar sekedar menyapa mentari yang telah menaati aturan untuk mampir dan singgah menerangi kota dimana aku tinggal saat ini. Belum sempat pula aku menyapa angin yang berhembus dengan sejuknya di pagi hari. Belum terkontaminasi. Apalagi untuk sekedar menyapa burung-burung yang bersahutan tak berhenti sejak tadi. Berkeliaran lincah, terbang kesana kemari, berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain. Aku belum sempat menyapa mereka semua yang berhasil mewarnai pagi di hari kedua Februari ini menjadi begitu harmoni.

Aku masih menyederhanakan bentuk sapaan kebahagiaan ku kepada makhluk Allah yang paling berarti sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Dia seorang manusia, sama seperti ku. Bedanya, kasih sayang yang dimilikinya tak berbatas. Tak bertepi. Hingga aku betah untuk menunda sapaan ku kepada mentari, angin, dan burung-burung pagi hari ini. Dia adalah ibuku. Yang membangunkan ku ketika adzan subuh berkumandang. Ketika bapakku sedang sibuk dinas di luar kota, ibu menjadi sosok sentral di rumah. Bangun sebelum subuh, membangunkan aku dan adik-adikku untuk pergi ke mushola. Menyiapkan sarapan, bekal makanan untuk dibawa adikku sekolah pagi, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Aku menikmati saat-saat membantunya, meski tak seberapa. Meski hanya mengajaknya berbincang sebentar saat dia sedang menggoreng nasi kesukaan ku dan adik-adikku.

Hari kedua di bulan Februari ini sepertinya akan lebih banyak aku habiskan di rumah. Untuk berinteraksi dengan beberapa buku yang masih terbungkus plastik. Yang belum aku baca sama sekali. Sekalian memanfaatkan kesempatan mahal yang biasa kita lupakan bahwa aku masih diberikan kebahagiaan yang belum tentu dimiliki oleh  orang lain yaitu berinteraksi dan mengobrol langsung dengan ibu sendiri dalam waktu kerja seperti ini. Aku beruntung diberikan oleh Allah seorang ibu yang bersedia menjadi ibu rumah tangga. Menyediakan seluruh waktunya di rumah. Full time mother.

Dulu, ketika aku masih sekolah SD di Bekasi, aku paling dekat dengan ibu. Selain karena aku adalah anak pertama, ibu juga beberapa kali mengantar dan menjemputku sekolah. Jadi waktu yang aku habiskan bersama seorang ibu sangat berkesan, meski tidak berlangsung lama. Karena ketika aku naik kelas 4, Ibu bersama semua adik-adik harus mengikuti bapak pindah ke Palembang. Dan aku belum bisa pindah bersama karena harus mengurus paspor kepindahan dari Bekasi ke Palembang. Kamu tahu kan bahwa Bekasi terletak di planet lain, makanya sulit mengurus izin pindah tersebut. (jangan terlalu serius ya).

Waktu 2 tahun sekolah tanpa kasih sayang seorang ibu pernah aku rasakan. Dan itu ketika masih SD. Untungnya aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu dari nenek ku. Dia menggantikan peran ibu dengan pengalamannya mendidik anak-anaknya dimana salah satu dari mereka adalah bapakku. Dengan telaten penuh kesabaran, menghadapi kenakalan anak usia 9 tahun yang selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba hal baru. Dijawabnya semua pertanyaan ku saat itu. Diajaknya berkeliling pasar, diajaknya pula aku ke pengajian ibu-ibu yang tak pernah aku tahu bagaimana akhir acaranya, karena aku selalu tertidur di pertengahan acara. Dan banyak hal lagi yang masih terekam jelas dalam ingatan ku bagaimana nenekku berusaha semaksimal mungkin memberikan kasih sayangnya padaku. Semoga Allah membalas kebaikannya di masa hidup, dan memberikannya tempat terbaik di Syurga.

Sebaik apapun perhatian yang orang lain berikan padamu, setulus apapun kasih sayang yang ditunjukkan nya padamu, itu semua tidak akan pernah menggantikan perhatian dan tulus nya kasih sayang yang pernah ditunjukkan seorang ibu.

Salah seorang kakak senior di tempat kerja pernah mengatakan bahwa jika orangtuanya kaya, maka anaknya akan ikut merasakannya, tapi jika anaknya yang kaya belum tentu orangtuanya bisa merasakannya juga. Ah kalau sudah seperti ini kadang aku suka berpikir, apa gunanya aku kerja tiap hari pergi pagi pulang malam, atau pergi malam pulang pagi namun tidak ada satupun yang bisa aku persembahkan kepada orangtuaku selain cerita lelah, dan wajah suntuk saja.

Tapi lagi-lagi aku masih bersyukur, karena Allah juga masih memberikan tempat kerja yang dekat tempat tinggal orangtua. Aku tidak harus merantau di beda kota atau beda pulau yang menyebabkan terpisahnya jarak antara aku dan orangtua. Aku masih bisa mencium tangan ibu dan bapak sebelum pergi kerja. Masih bisa melihat senyum mereka setiap hari secara langsung tanpa melalui video call atau skype.


Makanya pagi ini aku tak sempat menyapa mentari, menyapa angin, menyapa burung-burung. Karena mentari tak bisa menggantikan hangatnya kasih sayang ibu di pagi hari, angin tak mampu menggantikan kelembutan tangan ibu yang membangunkan tidur ku untuk sholat dan segera mandi, dan burung-burung tak akan bisa menyaingi keindahan suara ibu saat mengobrol bersama di ruang keluarga.

0 komentar: