Pagi ini matahari masih malu menyapa. Hari
kedua di bulan Februari. Sudah satu bulan berlalu sejak tahun ini berganti.
Langit masih setia tegak berdiri menyaksikan rangkaian mimpi penduduk bumi di
tahun ini. Mereka yang sudah menyiapkan serangkaian resolusi di awal tahun ini
ada beberapa yang sudah mulai merampungkan masing-masing resolusinya itu. Awan
masih setia hilir mudik di langit. Melindungi beberapa daerah yang perlu untuk
diberikan rahmat berupa hujan. Tetesan air yang bermanfaat bagi seluruh makhluk
hidup di sekitarnya. Yang bukan hanya membasahi tanah, namun juga membasahi
daun, batang, akar pohon yang tak pernah berhenti berzikir dengan caranya
masing-masing.
Langit di hari kedua bulan Februari sudah cukup
bersahabat. Namun aku masih hanya memperhatikannya dari kaca jendela kamar.
Belum tergerak kaki ini untuk keluar sekedar menyapa mentari yang telah menaati
aturan untuk mampir dan singgah menerangi kota dimana aku tinggal saat ini.
Belum sempat pula aku menyapa angin yang berhembus dengan sejuknya di pagi
hari. Belum terkontaminasi. Apalagi untuk sekedar menyapa burung-burung yang
bersahutan tak berhenti sejak tadi. Berkeliaran lincah, terbang kesana kemari,
berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain. Aku belum sempat menyapa mereka
semua yang berhasil mewarnai pagi di hari kedua Februari ini menjadi begitu
harmoni.
Aku masih menyederhanakan bentuk sapaan
kebahagiaan ku kepada makhluk Allah yang paling berarti sejak aku dilahirkan ke
dunia ini. Dia seorang manusia, sama seperti ku. Bedanya, kasih sayang yang
dimilikinya tak berbatas. Tak bertepi. Hingga aku betah untuk menunda sapaan ku
kepada mentari, angin, dan burung-burung pagi hari ini. Dia adalah ibuku. Yang
membangunkan ku ketika adzan subuh berkumandang. Ketika bapakku sedang sibuk dinas
di luar kota, ibu menjadi sosok sentral di rumah. Bangun sebelum subuh,
membangunkan aku dan adik-adikku untuk pergi ke mushola. Menyiapkan sarapan,
bekal makanan untuk dibawa adikku sekolah pagi, membersihkan rumah dan lain
sebagainya. Aku menikmati saat-saat membantunya, meski tak seberapa. Meski
hanya mengajaknya berbincang sebentar saat dia sedang menggoreng nasi kesukaan ku
dan adik-adikku.
Hari kedua di bulan Februari ini sepertinya
akan lebih banyak aku habiskan di rumah. Untuk berinteraksi dengan beberapa
buku yang masih terbungkus plastik. Yang belum aku baca sama sekali. Sekalian memanfaatkan
kesempatan mahal yang biasa kita lupakan bahwa aku masih diberikan kebahagiaan
yang belum tentu dimiliki oleh orang lain
yaitu berinteraksi dan mengobrol langsung dengan ibu sendiri dalam waktu kerja
seperti ini. Aku beruntung diberikan oleh Allah seorang ibu yang bersedia
menjadi ibu rumah tangga. Menyediakan seluruh waktunya di rumah. Full time
mother.
Dulu, ketika aku masih sekolah SD di Bekasi,
aku paling dekat dengan ibu. Selain karena aku adalah anak pertama, ibu juga beberapa
kali mengantar dan menjemputku sekolah. Jadi waktu yang aku habiskan bersama
seorang ibu sangat berkesan, meski tidak berlangsung lama. Karena ketika aku
naik kelas 4, Ibu bersama semua adik-adik harus mengikuti bapak pindah ke
Palembang. Dan aku belum bisa pindah bersama karena harus mengurus paspor kepindahan
dari Bekasi ke Palembang. Kamu tahu kan bahwa Bekasi terletak di planet lain,
makanya sulit mengurus izin pindah tersebut. (jangan terlalu serius ya).
Waktu 2 tahun sekolah tanpa kasih sayang
seorang ibu pernah aku rasakan. Dan itu ketika masih SD. Untungnya aku masih
bisa merasakan kasih sayang seorang ibu dari nenek ku. Dia menggantikan peran
ibu dengan pengalamannya mendidik anak-anaknya dimana salah satu dari mereka
adalah bapakku. Dengan telaten penuh kesabaran, menghadapi kenakalan anak usia 9
tahun yang selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba hal baru. Dijawabnya semua pertanyaan
ku saat itu. Diajaknya berkeliling pasar, diajaknya pula aku ke pengajian
ibu-ibu yang tak pernah aku tahu bagaimana akhir acaranya, karena aku selalu
tertidur di pertengahan acara. Dan banyak hal lagi yang masih terekam jelas
dalam ingatan ku bagaimana nenekku berusaha semaksimal mungkin memberikan kasih
sayangnya padaku. Semoga Allah membalas kebaikannya di masa hidup, dan memberikannya
tempat terbaik di Syurga.
Sebaik apapun perhatian yang orang lain berikan
padamu, setulus apapun kasih sayang yang ditunjukkan nya padamu, itu semua
tidak akan pernah menggantikan perhatian dan tulus nya kasih sayang yang pernah
ditunjukkan seorang ibu.
Salah seorang kakak senior di tempat kerja pernah
mengatakan bahwa jika orangtuanya kaya, maka anaknya akan ikut merasakannya,
tapi jika anaknya yang kaya belum tentu orangtuanya bisa merasakannya juga. Ah
kalau sudah seperti ini kadang aku suka berpikir, apa gunanya aku kerja tiap
hari pergi pagi pulang malam, atau pergi malam pulang pagi namun tidak ada
satupun yang bisa aku persembahkan kepada orangtuaku selain cerita lelah, dan
wajah suntuk saja.
Tapi lagi-lagi aku masih bersyukur, karena
Allah juga masih memberikan tempat kerja yang dekat tempat tinggal orangtua. Aku
tidak harus merantau di beda kota atau beda pulau yang menyebabkan terpisahnya
jarak antara aku dan orangtua. Aku masih bisa mencium tangan ibu dan bapak
sebelum pergi kerja. Masih bisa melihat senyum mereka setiap hari secara
langsung tanpa melalui video call atau skype.
Makanya pagi ini aku tak sempat menyapa
mentari, menyapa angin, menyapa burung-burung. Karena mentari tak bisa
menggantikan hangatnya kasih sayang ibu di pagi hari, angin tak mampu
menggantikan kelembutan tangan ibu yang membangunkan tidur ku untuk sholat dan
segera mandi, dan burung-burung tak akan bisa menyaingi keindahan suara ibu
saat mengobrol bersama di ruang keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar