Dua orang yang saling mencintai itu bertemu untuk sekali lagi. Dalam sebuah gedung kantoran di bilangan Jakarta. Milea, nama gadis itu, bertemu muka tidak sengaja dengan bekas kekasih hatinya, Dilan. Mereka bertemu dalam suasana yang berbeda. Pada tempat berbeda. Dan tidak menyandang status yang mereka banggakan dulu ketika SMA. Sepasang kekasih. Tatapan mata mereka masih menyiratkan rasa ketertarikan dan kekaguman satu sama lain. Mereka terdiam sejenak, beradu pandang. Hingga akhirnya suami dari Milea datang, dan memutuskan beberapa detik waktu yang digunakan oleh mereka berdua mengingat masa romantis ketika SMA.
Adegan dalam novel yang berjudul Dilan ini bercerita soal cinta itu
merupakan potret gambaran cinta konvensional
yang kini terjadi di masyarakat. Kisah kasih yang terjadi di masa SMA. Pergaulan
yang terlihat lumrah, dipopulerkan secara terang-terangan. Digambarkan begitu
menarik. Padahal banyak jerat setan yang menanti di sana. Banyak kekecewaan
dalam pelaksanaannya. Karena pada akhirnya cinta yang dilukiskan begitu panjang
dan mendayu oleh Pidi Baiq, penulisnya, hanya
menyisakan kata perpisahan karena berbenturan dengan realita yang tak bisa
disatukan meski atas nama cinta. Entah siapa yang dirugikan di sana. Terbawa perasaan.
Patah hati. Menurutmu itu bisa sembuh sehari? Dua hari? Belum dosa hati, dosa
mata, dan yang lainnya. Oke ini hanya fiksi. Di dunia realita, bukannya ada juga
seperti ini?
Cinta yang hanya menggebu di awal, tanpa alasan yang jelas akan berakhir
tanpa kejelasan pula. Jadi tak usah lah kamu percaya dengan ucapan gombal yang menjelaskan
bahwa cinta itu tanpa alasan. Itu semua trik pasaran yang sudah banyak dipakai
oleh para pemuja cinta semu belaka. Semanis apapun alasannya sebaik apapun
caranya menjelaskan soal cinta, kalau bukan Allah yang menjadi sandaran, maka
cinta itu hanya sebuah cerita semu penghias dosa.
* * *
Lain Pidi Baiq, lain pula Kang Abik. Novelis yang mempunyai nama asli
Habiburrahman El Shirazy ini juga merupakan seorang penulis novel yang menjadikan
cinta sebagai bumbu utama. Mulai dari Ayat-ayat Cinta, Cinta Suci Zahrana,
Ketika Cinta bertasbih, Dalam Mihrab Cinta, Bumi Cinta dan sederet karyanya
lain pun sarat akan kisah cinta. Cinta memang menjadi sebuah produk jualan yang
begitu laris di pasaran. Dan para penulis cerdas tahu bagaimana memanfaatkan
itu.
Kang Abik dengan kisah cinta nya memiliki nilai-nilai yang jauh lebih luhur
daripada apa yang sudah dibawakan oleh novelis lain semisal Pidi Baiq. Sama-sama
bergenre cinta, namun dalam bingkai yang berbeda. Novel karya kang Abik sarat
nilai rabbani. Berpegang teguh dengan prinsip islami, tanpa melanggar
norma-norma yang terkesan menjual diri demi sebuah kata sifat yang kita sebut
cinta.
Karena memang seperti itulah cinta, ia hanyalah sebuah kata sifat yang
setara dengan kata sifat yang lain. Setara dengan sabar, jujur, baik, jahat, dan
sebagainya. Bukan hanya kata sifat yang baik saja. Karena memang cinta itu
tidak selamanya berada dalam lingkaran kebaikan. Terkadang kamu bisa menemukan bahwa
cinta itu menguatkan, tapi di sisi lain kamu bisa mendapatkan bahwa cinta bisa
menjerumuskan.
Salah satu efek dari cinta yang menguatkan bisa kamu baca di novel
Ayat-ayat cinta karya kang Abik yang kedua. Kamu bisa merasakan bagaimana cinta
itu bisa meneguhkan keimanan seorang Aisyah yang rela merusak paras cantiknya
untuk menghindari tindakan pelecehan yang akan dilakukan oleh tentara Israel
ketika di penjara. Dinding penjara menjadi media untuk menyayat pipi, hidung, kening,
dan seluruh bagian wajah Aisyah. Darah mengucur di setiap sudut wajah. Perih
rasanya. Namun tidak sebanding dengan perihnya siksaan neraka Allah jika ia
tunduk pasrah menyerahkan dirinya kepada para budak syahwat dunia. Diikhlaskan pemberian
Allah berupa wajah yang begitu dicintai suaminya untuk menjaga kesucian diri
dari nafsu bejat musuh Allah terlaknat. Biarlah raga itu rusak di dunia, toh
Aisyah selalu percaya bahwa usahanya menjaga kesucian diri akan mendapatkan surga
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta itu
membuatmu kuat. Kuat iman, berimplikasi pada keikhlasan untuk mengorbankan
semua yang kamu miliki, hingga bertambah kecintaanmu kepada yang memberikan
cinta. Dialah Allah sang Pemilik Cinta.
* * *
Sepertinya sudah cukup kita membahas soal cinta di dunia fiksi. Kisah cinta
di dunia ini cukup banyak juga yang melegenda. Dan itu semua selalu memiliki
dua sisi antara kebaikan dan keburukan. Kamu tahu, bangunan Taj Mahal yang
menjadi ikon negara India dan menjadi salah satu keajaiban dunia. Itu juga
merupakan hasil dari cerita cinta. Tak usah jauh-jauh, di negara kita,
Indonesia, candi Prambanan juga merupakan salah satu bangunan yang memiliki
cerita legenda seputar cinta. Juga di tangkuban perahu, dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Cinta itu katalis perasaan. Ia mampu mempercepat reaksi antara perasaan
satu dengan yang lain. Ia mampu menghadirkan sedih, bahagia, kesal dan rindu
melebur padu. Katalis perasaan pasti butuh energi. Energi sebuah cinta hanya
bisa didapatkan dari kumpulan kebaikan-kebaikan yang bersinergi. Jadi jangan
heran ketika cinta mulai memainkan perannya sebagai katalis, energi-energi
positif mulai bergerak memainkan perannya masing-masing.
Misalnya saja seperti ini. Untuk mencintai sesuatu, maka kamu harus jujur
pada diri sendiri, maka cinta sudah menyebabkan seseorang menjadi jujur. Lalu untuk
mencapai sebuah kebahagiaan, cinta tidak cukup hanya dengan jujur. Karena cinta
akan mengambil seluruh waktumu. Menyita semua pikiranmu, menyedot habis semua hartamu.
Dan semua itu harus ikhlas kamu korbankan. Tidak berhenti sampai di situ kawan,
ketika kamu sudah memutuskan untuk mencintai, telah jujur pada diri sendiri,
ikhlas mengorbankan apa yang dimiliki, cinta terkadang berjalan tidak sesuai
dengan kehendak hati dan keinginan, dan untuk menjaga cinta itu tetap utuh
diperlukan kesabaran. Masih banyak lagi energi-energi positif yang akan tersebar untuk mereaksikan sebuah perasaan
berkaitan dengan cinta. Jadi coba saja diperiksa, jika kawanmu sudah terlalu
banyak terbawa perasaan, bisa jadi katalis yang kita kenal dengan sebutan cinta
sedang bekerja dalam dirinya.
Cinta itu sering bermula dari mata. Karena mata merupakan media yang Allah ciptakan
untuk merasakan keindahan secara visual. Keindahan secara visual bisa lebih
mudah tergambar, karena sifatnya nampak dan nyata. Seindah memandang ciptaan
Allah yang luar biasa. Karena Allah tak mampu untuk kita lihat dengan mata di
dunia, maka untuk menghadirkan cinta kepada Nya bisa dengan melihat segala
ciptaan Nya. Karenanya Allah sudah berfirman “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14).
Mata juga bisa menipu, mata inilah yang kemudian menjerumuskan Abdah bin ‘Abdurrahiim dari seorang prajurit
yang hafal Quran yang kemudian merelakan keimanannya karena tergiur kecantikan
wanita ketika masa penaklukan benteng Romawi sekitar tahun 270 H.
Lalu cinta juga bisa bermula dari telinga. Telinga bisa merasakan keindahan
secara audio. Secara pendengaran. Seorang musisi bisa dicintai para penggemarnya
tanpa perlu bertatap muka. Suara yang indah bisa menenteramkan hati. Dan hati
yang tenteram bisa menghadirkan cinta. Suara
tadarus Alquran yang diperdengarkan seorang manusia bisa juga menjadi penyebab
cinta.
Dan lagi-lagi pendengaran ini juga terkadang bisa menipu. Kita sebagai
manusia harus bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah. Karena setan
selalu membisikkan kejahatan langsung ke sanubari manusia.
Baik media visual maupun media pendengaran, adalah salah satu media terbaik
yang bisa menghadirkan rasa cinta. Namun ternyata ada sebuah cinta yang tidak
melalui dua media tersebut. Dan cinta itu memiliki efek luar biasa terhadap
objek yang dicintainya. Pengaruhnya luas, meliputi semesta alam. Hebatnya lagi,
cinta ini terjalin begitu saja tanpa pernah bertemu rupa, cinta ini mengalir
saja, tanpa pernah mendengar suara. Terlalu kuat jalinannya. Terlalu deras
alirannya. Membanjiri semesta dengan cinta, menyebarkan kebaikan-kebaikan yang
selalu menghadirkan cinta yang bertambah di manapun dan kapan pun. Dia lah
pencinta sejati dari kalangan manusia. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Yang mengorbankan seluruh waktu, harta, jiwa dan raganya untuk kita
yang belum pernah ditemuinya. Yang beruban rambutnya memikirkan nasib kita
setelah sepeninggalnya. Yang merelakan waktu tidur di sepertiga malamnya demi
mendoakan kita agar selalu istiqomah berada di jalan yang sama dengannya.
Adakah cinta yang lebih mulia dari itu? Bahkan kita yang mengaku mengerti
soal cinta belum berani mengorbankan segalanya untuk yang kita cinta tapi belum
pernah bertemu muka maupun suara. Karena cinta adalah soal keikhlasan, maka
Rasul ikhlas mencintai kita sebagai umatnya. Rasul ikhlas mengajarkan kita
sebagai pengikutnya. Dan kita pun belajar bahwa cinta itu tak selalu bertemu
raga. Cinta tak selalu bertegur sapa. Cukuplah kita yakin dan sandarkan cinta
ini kepada sang Maha Cinta, maka ia akan bekerja sebagai katalis dalam
memperbarui perasaan bahagia, bersimpul indah dalam lingkaran-lingkaran
kebaikan yang bersatu padu. Suci nan penuh berkah. Karena cinta bukan hanya
soal walimah. Tapi ia rahmat yang cakupannya tak berbatas wilayah.
Pada akhirnya izinkan saya mengutip puisi karya Sapardi Djoko Darmono yang
berjudul Sajak-Sajak Kecil Tentang Cinta
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku
3 komentar:
luarbiasa artikelnya pak.
by taqrim ibadi
super !! ^^
of course like your web site but you need to take a look at the spelling on several of your posts. A number of them are rife with spelling problems and I to find it very troublesome to tell the reality then again I will certainly come again again. sign in hotmail
Posting Komentar